Traveling

Budidaya ikan tirus cara masyarakat Batu Ampar bangkit saat pandemi


Pontianak (ANTARA) – Penyebaran COVID -19 sejak kasus pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020 lalu hingga kini terus bertambah.Tercatat penyebaran kasus COVID-19 tersebut sudah tembus 600 ribu kasus.

Pandemi yang sudah menjadi bencana non alam secara global berdampak luas terhadap berbagai aspek baik dari sisi kesehatan itu sendiri, ekonomi, pendidikan dan lainnya.

Dampak kondisi pandemi juga dirasakan masyarakat pembudidaya kepiting bakau di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Permintaan dampak COVID-19 kepiting turun. Sehingga pendapatan pembudidaya daerah itu juga ikut anjlok.

Namun, kondisi yang ada tidak membuat sebanyak 45 anggota kelompok budidaya kepiting di Batu Ampar tersebut larut. Mereka berhasil keluar dari kesulitan berkat pendampingan dari Yayasan Sampan dan petugas pendampingan perhutanan sosial Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Hidup (BPSKL) Wilayah Kalimantan dengan dukungan dari Yayasan Dagang Hijau Indonesia (IDH).

Dalam pendampingan tersebut, Yayasan Sampan dan BPSKL terus mendorong pengembangan sektor-sektor alternatif lain yang tidak hanya bertumpu pada satu komoditas saja. Hasilnya, mereka bisa bangkit lagi dan mampu mengisi permintaan pembeli ikan tirus dari Kabupaten Kubu Raya dan Kota Pontianak.  

Pembudidaya kepiting bakau, Suheri mengatakan awalnya mereka tergantung dari hasil kepiting bakau dan arang mangrove. Sekarang, kata Suheri, penebang mangrove dan pembudidaya kepiting punya alternatif pekerjaan lain yaitu budi daya ikan tirus.

“Budi daya kepiting sempat berhasil dan sudah panen raya. Sebagian dari kami yang awalnya penebang mangrove sekarang punya tambak kepiting. Karena pandami COVID-19 permintaan kepiting kosong dan kami sekarang beralih ke budi daya ikan tirus ternyata banyak yang minta kirim,” kata Suheri di Kubu Raya, Senin.

Dengan rasa gembira, Heri mengutarakan dalam sekali permintaan, anggota kelompok bisa memenuhi puluhan kilogram ikan untuk 9.000 penduduk Kecamatan Batu Ampar dan sebagian didistribusikan ke Kabupaten Kubu Raya dan Kota Pontianak.

Konsumsi pakan dan masa panen yang cepat, menurutnya, membuat produksi ikan tirus tidak sesulit budi daya kepiting. Kantong pemasukan mereka jadi mudah terisi kembali selama COVID-19 masih berlangsung dan bisa menambah biaya produksi untuk industri hilir dari komoditas lainnya.

“Sebagian dari tambak kepiting itu haru berhenti, jadi diganti untuk tambak ikan tirus. Panennya tidak lama, berat 2-3 kg sudah bisa panen. Penghasilan kami lumayan, antara Rp6 juta sampai Rp10 juta. Ada solusi lagi untuk tidak tebang mangrove,” kata Heri.

Sebagai informasi, masyarakat terdiri dari 45 anggota kelompok keramba Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) pernah merasakan panen raya kepiting bakau pertama kali, pada 18 Desember 2019 lalu. Ketika itu, mereka panen sebanyak 2,5 ton kepiting untuk mengisi permintaan ratusan kepiting dari Jakarta, Bali dan Pontianak.

Setelah itu, panen-panen berikutnya hingga saat ini sirna akibat pandemi. Para pembeli dalam jumlah besar berhenti memesan selama masih terjadi COVID-19.

Lanskap Manajer Yayasan IDH Kalbar Lorens mengatakan YIDH mendukung inisiatif tersebut melalui pendekatan landskap dan penerapan prinsip proteksi, produksi dan inklusi compact.

“YDIH mendukung model bisnis dan transformasi pasar, serta mendukung akses pendanaan bisnis dalam skala besar,” ujar dia.

Sehingga, lanjut Lorens, keberhasilan para pebudidaya kepiting bakau memunculkan alternatif ekonomi dari komoditas ikan tirus sebagai bukti mendukung perhutanan sosial yang sudah tepat. Ketika satu potensi putus, papar dia, ada alternatif lain.

Petugas pendampingan perhutanan sosial BPSKL Dede Purwansyah mengatakan bukan berarti produksi dari komoditas kepiting berhenti total karena pebudidaya beralih ke ikan tirus.

Fasilitator bagi anggota kelompok budi daya Batu Ampar ini mengutarakan mereka sudah bisa memenuhi biaya produksi untuk industri hilir lain seperti kerupuk kepiting, sosis dan abon dari bahan baku kepiting.

“Sekarang yang mulai banyak permintaan itu kerupuk kepiting. Dalam 1 dan 2 bulan kemarin laris, bisa menghasilkan gabungan satu kelompok Rp6 juta per bulan. Ada nilai tambah dari kepiting bakau walau sekarang tidak bisa kirim ke luar daerah dulu karena COVID-19,” ujar Dede.

Dia kini bisa bernafas lega karena kepiting bakau masyarakat Batu Ampar yang sempat di gadang-gadang menjadi pemasukan andalan mereka rontok karena COVID-19 tergantikan dengan permintaan ikan tirus. Dede bercerita membantu pendampingan di Batu Ampar pada Juli 2020 setelah mendapatkan SK Pendamping PS dari BPSKL.

“Kami tidak putus semangat karena memang masih ada tantangan lain seperti stok benih dan listrik. Tetapi, setidaknya kehadiran kepiting bakau dan ikan tirus sudah mendorong warga untuk tidak menebang sementara waktu pohon mangrove untuk arang. Semangat kami tumbuh bersama kelompok untuk tetap membangun kemandirian,” kata pendiri Pesona Kalbar Hijau ini.

Pesona Kalbar Hijau, kata Dede, dalam perkembangannya berkomitmen membantu pengemasan produk hasil hutan bukan kayu kelompok KUPS Batu Ampar, seperti madu kelulut, kopi, kerupuk kepiting dan lain-lain. Setiap bulan anggota kelompok mendapatkan insentif dari hasil jualan.





Sumber

Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Ke Atas