Gaya Hidup

Ternyata, Begini Rasanya Melahirkan di Tengah Pandemi


Jika bisa memilih, tentu kondisi pandemi serba terbatas seperti sekarang, bukan waktu terbaik untuk melahirkan. Namun, hari persalinan tidak bisa diundur dan si Kecil harus dilahirkan ke dunia walau rencana persalinan berjalan tidak seperti yang diharapkan. Bagi Mums yang kini sedang harap-harap cemas menjelang hari persalinan, yuk simak cerita Mum Astrid Wulan yang berhasil melewati hari persalinannya dengan senyuman, walau tidak semua rencana bisa berjalan baik.

Birth Plan Hanya Tinggal Rencana? Senyumin Aja!

Hai, perkenalkan saya Astrid Wulan, biasa dipanggil Astrid. Usia saya 29 tahun. Pada tanggal 26 Maret 2020 lalu, saya melahirkan anak kedua saya di sebuah rumah sakit ibu dan anak di bilangan Jakarta Selatan. Namun, cerita melahirkan saya kali ini tidak sesederhana itu, Mums.

Layaknya semua ibu yang akan melahirkan, saya sudah merancang sedemikian rupa rencana persalinan yang saya inginkan. Saya berencana untuk vaginal birth after cesarian (VBAC), atau melahirkan normal pasca-Caesar, di sebuah rumah sakit umum swasta di area Jakarta Selatan. Pemilihan VBAC didasarkan agar saya ingin cepat pulih dan tak perlu dirawat inap lama di rumah sakit. Selain itu, saya ingin mengajak anak pertama saya untuk ikut menginap selama saya dirawat pascabersalin nanti, karena saat ini dia masih masih menyusui dan tidak terbiasa diasuh oleh orang lain. Ya, jarak anak pertama dan kedua memang tergolong dekat, hanya berjarak 15 bulan. Namun syukurlah, kehamilan kedua saya berjalan sehat dan lancar.

Singkat cerita ke rencana persalinan, sayangnya COVID-19 di Jakarta makin berkembang dan jumlah kasus positif terus naik. Rumah sakit dikabarkan makin sibuk menangani kasus COVID-19. Saya pun mulai ragu dengan rencana persalinan alami, karena khawatir di saat saya melahirkan nanti, rumah sakit tempat saya biasa kontrol dan dipilih sebagai tempat bersalin, dalam kondisi penuh dan tidak kondusif untuk melahirkan. Apalagi, melahirkan alami kan, harus menunggu datangnya kontraksi, sehingga saya tidak tahu kapan saya bisa melahirkan.

Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya ikhlas untuk berganti rencana untuk batal melahirkan secara spontan dan memilih Caesar elektif saja, supaya waktu persalinan bisa saya tentukan. Rencana itu saya sampaikan pada dokter obgyn saya dan memilih melahirkan hari Kamis tanggal 26 Maret 2020.

Kenapa Kamis? Karena saya bermaksud agar orang bisa menjenguk saya H+1 setelah bersalin dan pas di akhir pekan. Ya, saya masih sempat berpikir untuk dijenguk saudara dan teman, karena belum menyangka kasus COVID-19 akan berkembang semakin mengkhawatirkan.

Perubahan rencana nyatanya bukan itu saja. Di tanggal 25 Maret siang, ibu saya dikabari temannya, bahwa di rumah sakit yang direncanakan menjadi rumah sakit bersalin saya, merawat pasien positif COVID-19. Ibu dan suami saya langsung panik mendengar kabar itu dan menyarankan agar pindah rumah sakit saja. Bahkan, suami sampai menangis karena takut saya kenapa-kenapa.

Padahal jujur, saya malah santai saja mendengar kabar itu. Saya yakin pihak rumah sakit menjalani protokol kesehatan yang diwajibkan dan sudah melakukan upaya pencegahan yang baik, termasuk memisahkan pasien positif COVID-19 dari pasien lainnya.

Namun, karena desakan dari mereka, akhirnya saya setuju untuk pindah rumah sakit. Dengan syarat, saya tidak mau dipusingkan dengan masalah tersebut dan hanya mau terima beres. Akhirnya, mereka pun bersedia mengurus segala sesuatunya. Ibu saya mengurus asuransi dan pihak rumah sakit pindahan. Sementara suami menghubungi dokter obgyn pengganti yang dulunya menangani kehamilan pertama saya, agar bersedia menangani persalinan saya besok. Untunglah, obgyn pengganti bersedia menangani persalinan, walaupun sama sekali saya tidak pernah kontrol dengan beliau di kehamilan kedua ini.

Walau perubahan serba mepet, saya bersyukur semuanya bisa diselesaikan. Di pagi hari tanggal 26 Maret, saya tetap menjalankan rencana persalinan saya di rumah sakit dan dokter obgyn yang berbeda. Dimulai dengan kontrol, lalu persiapan pendukung lainnya. Operasi Caesar pun dilakukan di di malam hari sekitar jam 22.00 karena mengantre jadwal dokter.

Terlepas dari bagaimana ribetnya persalinan saya di tengah pandemi ini, masih ada kok, hal yang bisa saya syukuri. Pertama, saya masih beruntung bisa didampingi oleh suami di ruang bedah. Pasalnya, di rumah sakit pertama, saya sudah diwanta-wanti untuk siap melahirkan sendirian karena suami dilarang mendampingi. Walau sudah menyiapkan mental nantinya harus melahirkan sendirian, pastinya lebih senang ditemani suami, dong.

Selain itu, karena saya melahirkan di akhir Maret di masa awal COVID-19 baru mulai tinggi, saya terhitung hoki karena belum diwajibkan untuk menjalani rapid test dan cek thorax sebelum bersalin. Sehingga, persiapan persalinan saya terhitung normal dan tidak merepotkan.

Baca juga: Fakta Penting tentang Keringat Berlebihan saat Hamil

Tips untuk Melahirkan di Tengah Pandemi

Setelah melalui semua itu dan mengingatnya sekarang, melahirkan di era pandemi seperti ini memang tak mudah. Melahirkan itu sendiri saja sudah butuh persiapan, ditambah dengan kondisi yang kurang menguntungkan seperti ini. Ada beberapa tips yang ingin saya bagi kepada para Mums yang bersiap melahirkan dalam waktu dekat ini. Beberapa di antaranya adalah:

  • Cobalah untuk lebih fleksibel dan ikhlas

Berkaca dari pengalaman saya, birth plan yang disusun sedemikian rupa buyar dan berubah total di satu hari sebelumnya. Ganti rumah sakit, ganti dokter, enggak bisa bawa anak, enggak bisa dijenguk, dan banyak lagi. Bahkan, acara akikah anak saya pun dilakukan seadanya.

Semua perubahan itu tentu enggak mudah, apalagi jika sudah merencanakan banyak hal. Namun ingat, sakralnya momen persalinan ini tidak akan berkurang dengan perubahan rencana itu, kok. Asalkan kita mau melihatnya dari kacamata bersyukur, maka semua itu tetaplah momen yang berharga.

Baca juga: Ini Tips Pilih Suplemen Imun yang Tepat
  • Pertimbangkan saran suami dan keluarga inti

Perlu dipahami, melahirkan bukan hanya tentang kita, tapi juga menyangkut suami dan keluarga. Seperti di kondisi saya, saya tadinya tidak keberatan kalau melahirkan di rumah sakit umum. Tapi, tidak untuk suami dan ibu saya. Jadi, saya harus bisa bekerja sama dengan keinginan mereka supaya semua pihak tenang.

Karena perlu diakui, enggak bisa cuma saya yang tenang, sementara orang-orang terdekat yang ingin mendampingi saya tidak merasakan hal yang sama. Kembali lagi ke tips pertama, ketika bersedia mempertimbangkan saran suami dan keluarga, maka kita juga harus bersedia fleksibel dan ikhlas dengan perubahan rencana.

Di masa pandemi ini, ada baiknya melebihkan cadangan biaya hingga 15-30%, di luar dari dana yang sudah disiapkan untuk membayar paket persalinan yang dipilih. Cara ini sebenarnya tidak hanya diberlakukan saat pandemi, namun di segala kondisi. Karena, bisa terjadi banyak hal di luar rencana.

  • Cari tahu apakah rumah sakit yang dipilih aman dan nyaman untuk bersalin

Potensi penyebaran virus dan penyakit memang bisa terjadi di area publik mana pun. Namun jika berdasarkan pengalaman saya, saya jauh merasa lebih tenang dan nyaman bersalin di rumah sakit ibu dan anak, karena pasiennya sangat terseleksi, tidak umum.

  • Tidak ada salahnya memiliki cadangan dokter kandungan

Dari hasil ngobrol dengan dokter obgyn yang membantu persalinan saya, nyatanya banyak pasien hamil yang pindah mendadak hanya untuk bersalin, persis seperti yang saya lakukan. Hal tersebut utamanya didasari oleh pertimbangan keamanan dan kenyamanan bersalin di rumah sakit khusus ibu dan anak.

Semoga cerita saya cukup menginspirasi Mums untuk menyiapkan dan menjalani persiapan dengan baik dan lebih siap, ya. Dan saya doakan persalinan Mums tidak menghadapi kendala apa pun. Semangat, Mums!

Baca juga: Apa yang Dilakukan Bayi 24 Jam Menjelang Persalinan?

Sumber:

Wawancara dengan Astrid Wulan.



Sumber

Klik untuk berkomentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Ke Atas